rtmcpoldakepri.com – Kasus tambang di Kalimantan Tengah kembali menyita perhatian publik. Seorang pejabat penting, Kepala Dinas ESDM Kalteng berinisial VC, keluar dari ruang pemeriksaan setelah kurang lebih 13 jam, lalu langsung digiring menuju mobil tahanan. Ia memilih bungkam, meninggalkan lebih banyak tanya dibanding jawaban, terutama mengenai arah penanganan kasus tambang yang kian kompleks di wilayah tersebut.
Keputusan penyidik menahan pejabat kunci sektor energi seharusnya tidak dipandang sebagai kejutan semata, tetapi sebagai pintu masuk untuk membedah pola besar kasus tambang di daerah sumber daya alam. Di titik inilah publik perlu menajamkan ingatan: bagaimana tata kelola perizinan tambang dijalankan, sejauh mana transparansi dijaga, serta siapa saja pihak sesungguhnya paling diuntungkan dari praktik eksploitasi sumber daya itu.
Diam 13 Jam: Isyarat atau Strategi Hukum?
Pemeriksaan selama 13 jam terkait kasus tambang biasanya menandakan ada banyak berkas, keterangan, maupun dokumen yang harus diklarifikasi. Penyidik Kejati tentu tidak mungkin membuang waktu tanpa dasar kuat. Panjangnya pemeriksaan mengisyaratkan dugaan keterkaitan pejabat dengan alur perizinan atau aktivitas tambang tertentu. Namun, publik masih menunggu kejelasan konstruksi perkara, termasuk peran pihak lain yang mungkin ikut terlibat.
Sikap tertutup VC saat digiring ke mobil tahanan menambah nuansa dramatis. Ketika pertanyaan wartawan beruntun diarahkan, ia memilih diam. Di ranah hukum, sikap ini lazim dipahami sebagai bagian strategi pembelaan. Setiap kata berpotensi ditafsirkan, lalu digunakan dalam proses berikutnya. Apalagi untuk kasus tambang yang melibatkan dokumen teknis, angka investasi, hingga relasi antara birokrasi dan korporasi.
Dari sudut pandang etika pejabat publik, bungkam di hadapan media bisa memunculkan kesan menghindar. Namun, secara yuridis, tersangka memiliki hak tidak berbicara di depan publik di luar forum resmi pemeriksaan. Di sinilah benturan dua standar muncul: kebutuhan transparansi kasus tambang yang menyangkut hajat hidup banyak orang, berhadapan dengan hak individu menjaga posisi tawar di hadapan penegak hukum.
Kasus Tambang, Perizinan, dan Jejak Kekuasaan
Kasus tambang jarang berdiri sendiri. Biasanya, ada alur panjang yang melibatkan izin eksplorasi, operasi produksi, hingga pengawasan pasca produksi. Di tiap tahap, terselip potensi penyimpangan. Mulai dari permainan kuota, kompromi pada dokumen lingkungan, sampai praktik “jual beli” rekomendasi. Posisi Kepala Dinas ESDM menjadi krusial, sebab struktur itu bersinggungan langsung dengan penentuan boleh tidaknya sebuah konsesi berjalan.
Penahanan pejabat ESDM memberi sinyal bahwa penegak hukum mulai menembus lapisan kebijakan, bukan hanya menyentuh pelaku teknis di lapangan. Namun publik berhak mengajukan pertanyaan lebih jauh: apakah penindakan akan menanjak menyasar jejaring di balik meja, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak swasta besar, broker izin, maupun aktor politik lokal yang diuntungkan dari arus uang kasus tambang?
Sering terjadi, ketika kasus tambang mencuat, sorotan hanya berhenti pada satu dua nama. Padahal, ekosistem penyimpangan dibangun oleh banyak tangan. Ada pejabat yang menandatangani berkas, perusahaan yang mengejar konsesi, konsultan yang merapikan dokumen, bahkan oknum aparat yang menutup mata terhadap pelanggaran teknis di lapangan. Tanpa pembongkaran menyeluruh, penahanan pejabat mudah berubah menjadi seremoni sesaat, bukan titik balik tata kelola tambang.
Dampak Kasus Tambang bagi Lingkungan dan Warga
Di balik hiruk pikuk penahanan pejabat, ada realitas lain yang sering terlupakan: kehidupan warga sekitar tambang. Kasus tambang bukan sekadar soal kerugian negara atau pelanggaran administrasi. Air keruh, tanah longsor, kebun rusak, udara berdebu, hingga konflik lahan merupakan konsekuensi harian. Setiap izin yang dikeluarkan tanpa kajian matang menjadi ancaman nyata bagi ruang hidup masyarakat.
Ketika pejabat di sektor ESDM tersangkut kasus tambang, publik patut bertanya: apakah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi akan ikut dikoreksi? Atau penanganan berhenti di wilayah pidana korupsi semata, sementara pemulihan ekologis diabaikan? Perspektif hukum kita masih cenderung memisahkan pelanggaran administrasi, korupsi, dan kejahatan lingkungan, padahal ketiganya sering berkelindan erat.
Dari sudut pandang pribadi, fokus penindakan semestinya bergeser dari sekadar menghukum individu ke arah pemulihan sistem. Setiap kasus tambang seharusnya memicu audit menyeluruh atas seluruh izin sejenis. Termasuk pemeriksaan ulang analisis dampak lingkungan, mekanisme reklamasi, serta jaminan rehabilitasi pasca tambang. Tanpa itu, penahanan pejabat hanya memotong ranting, sementara akar persoalan tetap menancap dalam.
Budaya Bungkam di Lingkaran Kasus Tambang
Keheningan VC saat digiring ke mobil tahanan menyimbolkan budaya bungkam yang kerap mengiringi kasus tambang. Tidak hanya pejabat, pelaku usaha pun sering bersembunyi di balik juru bicara, kuasa hukum, atau pernyataan tertulis. Alibi prosedural dipakai untuk menutup ruang diskusi substantif mengenai cara izin diperoleh serta bagaimana dampaknya terhadap ruang hidup masyarakat.
Dalam banyak perkara, publik hanya menerima potongan informasi: penetapan tersangka, jumlah kerugian negara, pasal yang dikenakan. Rangkaian lengkap perjalanan izin jarang dipaparkan gamblang. Padahal, transparansi kronologi penting untuk memahami mengapa kasus tambang bisa menembus sedalam itu. Termasuk bagaimana pengawasan internal pemerintah daerah bekerja, dan sejauh mana dewan perwakilan memberi kontrol politik terhadap kebijakan tambang.
Menurut saya, media perlu menggeser fokus pemberitaan. Bukan hanya menyorot drama 13 jam pemeriksaan atau momen bungkam di depan kamera. Lebih penting mendorong jawaban atas pertanyaan mendasar: siapa yang menanggung akibat kerusakan? Apa mekanisme ganti rugi bagi warga terdampak? Bagaimana jaminan agar konsesi bermasalah dihentikan dan tidak mewariskan risiko ke generasi berikutnya?
Mencari Titik Balik dari Satu Kasus Tambang
Penahanan Kepala Dinas ESDM Kalteng terkait kasus tambang seharusnya dimaknai sebagai alarm, bukan sekadar berita sensasional. Ini momentum menuntut transparansi penuh: pembukaan data izin, audit menyeluruh, serta pelibatan masyarakat sipil mengawasi perbaikan regulasi. Diamnya VC boleh jadi strategi hukum, tetapi masyarakat tidak boleh ikut diam. Refleksi terpenting justru lahir dari kesadaran bahwa kekayaan alam tidak boleh terus menerus menjadi sumber kemakmuran segelintir orang serta malapetaka bagi banyak pihak. Jika satu kasus tambang ini bisa mendorong pembenahan sistemik, maka 13 jam pemeriksaan dan satu momen bungkam di depan mobil tahanan bisa tercatat sebagai awal perubahan, bukan sekadar episode singkat di arsip pemberitaan.